Buleleng (Penabali.com) – Generasi Z memiliki peran penting sebagai pelopor literasi digital dalam menghadapi hoaks, terutama menjelang Pilkada. Generasi Z dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan teredukasi melalui upaya peningkatan kesadaran dan pemanfaatan teknologi serta kolaborasi dengan berbagai pihak.
Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan media sosial yang pesat. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Generasi Z adalah maraknya informasi yang tidak benar atau hoaks, terutama menjelang peristiwa penting seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Dalam konteks ini, Generasi Z memiliki peran penting sebagai pelopor literasi digital untuk menghadapi hoaks atau informasi menyesatkan yang dapat memengaruhi opini publik dan hasil pemilu,” ujar akademisi Universitas Warmadewa Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si saat menjadi narasumber dalam kegiatan sosialisasi pendidikan politik di SMAN 1 Sawan, Buleleng pada Rabu (30/10/2024).
Muliarta menegaskan dalam konteks Pilkada, hoaks dapat berupa informasi palsu tentang calon, isu-isu sensitif, atau bahkan informasi yang menyesatkan mengenai proses pemungutan suara. Hoaks ini tidak hanya mengganggu proses demokrasi, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperburuk polarisasi di masyarakat.
Generasi Z yang dikenal sebagai digital natives, memiliki akses yang luas terhadap teknologi dan informasi. Mereka tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai produsen konten di berbagai platform media sosial. Hal ini memberikan mereka peluang untuk menjadi agen perubahan dalam memerangi hoaks.
Menurut Muliarta yang juga merupakan Koordinator Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Bali, NTB dan NTT, salah satu langkah awal yang dapat diambil oleh Generasi Z adalah meningkatkan kesadaran tentang keberadaan hoaks. Melalui kampanye di media sosial, mereka dapat menyebarkan informasi yang benar dan mengedukasi teman sebaya tentang cara mengenali hoaks. Misalnya, mereka bisa membuat infografis atau video pendek yang menjelaskan ciri-ciri hoaks dan bagaimana cara memverifikasi informasi.
“Generasi Z dapat bekerja sama dengan berbagai organisasi non-pemerintah, komunitas, dan lembaga pendidikan untuk mengadakan seminar dan workshop tentang literasi digital. Kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memilah informasi dan memberikan keterampilan yang diperlukan untuk mengenali hoaks,” jelas Muliarta.
Muliarta mengakui meskipun Generasi Z memiliki potensi besar dalam memerangi hoaks, mereka juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya pendidikan formal tentang literasi digital di sekolah-sekolah. Banyak kurikulum yang masih belum memasukkan materi literasi digital secara mendalam, sehingga siswa tidak mendapatkan bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan informasi di era digital.
Selain itu, tekanan dari lingkungan sosial dan media sosial juga dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap informasi. Banyak individu cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan mereka dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Ini menciptakan bubble informasi yang sulit untuk dipecahkan.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Buleleng, Komang Kappa Tri Aryandono, S,IP., M.M menyatakan penyelenggara sosial di Kecamatan Sawan, karena saat pemilihan presiden tingkat partisipasi terendah di Kabupaten Buleleng ada di Kecamatan Sawan sebesar 63%. Kemudian generasi muda menjadi target karena generasi muda harus melek politik dan menjadi agen perubahan, sekaligus calon pemimpin.
“Generasi muda harus sadar politik, sadar akan hak dan kewajiban. Maka saatnya, mereka memilih pemimpin sesuai hati nurani, ” ungkap Aryandono. (rls)