Categories Bali Berita Buleleng

Jaga Konsep Mebraya Dengan Mepatung

Singaraja (Penabali.com) – Hari Raya Galungan dan Kuningan selalu dirayakan dengan penuh kemeriahan. Suasana persiapan dilakukan sejak jauh-jauh hari. Tidak terkecuali saat Hari Penampahan Galungan yang jatuh pada Anggara (Selasa) Kliwon Wuku Dungulan atau sehari sebelum Hari Galungan. Uniknya, saat momen ini, krama yang memotong daging babi acapkali melakukan tradisi mepatung.

Tradisi ini rutin dilakukan setiap enam bulan sekali oleh Sekaa Angklung Sabda Ulangan di Banjar Dinas Taman Sari, Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada. Sekaa yang berjumlah 27 orang ini pun sejak enam bulan lalu melakukan urunan dan menyisihkan upah megambel untuk ditabung di bendahara sekaa. Kemudian, saat terkumpul mereka akan membeli babi untuk disembelih.

Kelian Sekaa Wayan Walia pada Selasa (27/2) menjelaskan, sesuai dengan kesepakatan krama, pihaknya kembali melakukan mepatung serangkaian Hari Raya Galungan. Setiap sekaa nantinya akan mendapatkan bagian masing – masing sebanyak 3-4 kilogram daging babi. “Kalo dirupiahkan ini kisaran Rp.200 ribu. Mereka nanti tinggal nerima bersih dan dan sudah dibungkus, karena yang mengerjakan krama saye,”terangnya.

Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Dosen Ilmu Budaya Prodi Ilmu Komunikasi Hindu, STAHN Mpu Kuturan SIngaraja, Putu Mardika menjelaskan tradisi mepatung menjadi ciri jika konsep menyama braya masyarakat di Bali masih lestari. Masyarakat yang akan membeli babi umumnya dilakukan secara gotong royong baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi proses penyemblihan“Umumnya mepatung ini bisa lewat sekeha, suka-duka, ikatan banjara tau juga lewat dadia. Dari sana proses pengumpulan uang untuk membeli babi yang akan disembelih saat Penampahan Galungan. Bahkan tidak jarang ada yang mepatung daging kerbau,”kata Mardika.

Ia mengungkapkan, tradisi mepatung bisa menjadi solusi di tengah perekonomian yang kian menghimpit. Sebut saja, jika seekor babi yang beratnya 120 kilogram yang dihargai paling murah Rp 3 juta, maka masyarakat bisa mepatung sampai 10 orang. Itu artinya, cukup mengeluarkan uang hanya Rp 300 ribu untuk mendapatkan satu paket daging babi.

                   Foto : Krama Saye Menyembelih Daging Babi Untuk Mepatung

Selain menguntungkan dari sisi ekonomi, tradisi mepatung juga menjadi kohesi sosial atau mengikat hubungan sosial antar masyarakat. Sebab, proses mulai ngejuk (menangkap) babi, nampah (menyemblih) ngerecah (memotong) menjadi bagian kecil harus membutuhkan tim kerja yang solid.Tentu saja hubungan ini harus terus dipelihara demi melestarikan konsep menyama braya. Bahkan, tidak jarang para krama sering ngejot atau berbagi menu hidangan olahan daging babi sebagai upaya mempererat hubungan sosial. “Inilah yang harus terus dipelihara, karena mepatung menjadi penanda jika konsep menyama braya kita masih lestari. Selain itu, untuk meringankan beban krama yang merayakan Galungan dan Kuningan. Semua bisa menikmati daging,” paparnya.

Ia pun berharap, tradisi mepatung tetap dipelihara agar tetap tumbuh subur. Selain itu, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Bumdes, Koperasi, yang merupakan lembaga keuangan di desa bisa menjadi lokomotif atau pihak ketiga yang ikut menjaga tradisi mepatung sehingga kian meringankan masyarakat.

Dimana, lembaga keuangan di tingkat desa berbagi keuntungan, lalu membeli babi di peternakan yang dikelola warga secara swadaya. Tentu harapannya ada perputaran ekonomi yang membuat kecipratan banyak orang. “Keuntungannya kan bisa dibagi dalam bentuk daging babi, kemudian masyarakat bisa dilibatkan, semua bisa merayakan galungan dan kuningan dengan pekedek pekenyem,”tutupnya. (ika)