Sebagai bagian dari masyarakat Bali yang cinta Bali, Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P., merasa prihatin terhadap praktek-praktek mafia tanah yang kian merajalela dan merugikan masyarakat kecil.
Keprihatinan Togar yang berprofesi sebagai pengacara beralasan, karena advokat yang terdaftar di dalam Best Winners – Indonesia Business Development Award, seringkali menangani kasus-kasus tanah yang justru korbannya adalah masyarakat kecil sebagai pemilik tanah.
Sebagai seorang penegak hukum yang kerap dijuluki “Panglima Hukum”, Togar Situmorang yang juga Managing Partner Law Office Togar Situmorang & Associates yang beralamat di Jl. Tukad Citarum No. 5A Renon, dan juga merupakan rekanan OTO 27 yaitu bisnis usaha yang bergerak di bidang, Insurance AIA, Property penjualan Villa, Showroom Mobil, Showroom Motor Harley Davidson, Food Court dan juga Barber Shop yang beralamat di Jl. Gatot Subroto Timur No. 22 Denpasar Bali, merasa miris dengan persoalan-persoalan hukum khususnya kasus tanah yang kerap terjadi ditengah masyarakat Bali saat ini.
Pria asal Sumatra Utara namun telah lama menetap di Bali yang terdaftar di dalam 100 Advokat Hebat versi majalah Property&Bank, menilai rasa keadilan masyarakat kecil kerap tidak pernah didapat hanya karena hukum tajam kebawah dan tumpul keatas.
Seperti pada kasus hukum yang saat ini sedang ditanganinya terkait permasalahan tanah yang objeknya terletak di Ungasan Jimbaran. Dimana objek tanah tersebut merupakan objek tanah yang terletak dalam kawasan premium.
Togar Situmorang yang terdaftar di dalam Indonesia 50 Best Lawyer Award 2019, menjelaskan tanah tersebut milik seorang guru olahraga di salah satu sekolah yang terletak di Ungasan Jimbaran atas nama I.K. Darmawan, seluas 7.832 m2.
Tanah tersebut dijual oleh I.K. Darmawan kepada Indah Mulia dengan kesepakatan harga sekitar Rp27.000.000.000 (dua puluh tujuh miliar rupiah) seluas 7.833 M2 dengan harga per are Rp.350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Padahal harga tanah tersebut tidak sampai seperti harga yang ditawarkan Rp350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah. Hal tersebut dituangkan didalam kesepakatan jual beli antara I Ketut Darmawan dan Indah Mulia selaku pembeli.
“Harga yang tinggi tersebut merupakan salah satu modus yang sering dilakukan oleh “mafia tanah” agar pemilik tanah tergiur dengan harga tersebut dan segera untuk menjual tananhnya kepada pembeli untuk mendapatkan tanah yang diinginkan,” terang Togar Situmorang yang juga sebagai pengamat kebijakan publik ini.
Setelah kesepakatan tersebut, I Ketut Darmawan dan isteri, melakukan transaksi di salah satu hotel yang terletak di Kuta Badung dan dihadiri oleh penjual (I Kt. Darmawan) dan isteri, notaris di Kab.Badung (Beni B. S.H., M.Kn), serta dihadiri pula oleh Handoyo Soedargo, dan beberapa tim dari pembeli termasuk Indah Mulia. Namun Indah Mulia justru tidak ikut didalam transaksi tersebut dan berdiam diluar hotel. Bahwa transaksi tersebut dibuatkan PPJB antara I Ketut Darmawan dan Handoyo Soedargo dengan nilai Rp4 milyar rupiah. Penjual I Ketut Darmawan dan isteri mengetahui bahwa nominal yang ada didalam akta tersebut sebesar Rp4 miliar merupakan DP untuk tanahnya, karena sebelumnya Ka telah sepakat bahwa harga tanahnya Rp27 milyar dengan luas 7.832 M2.
Setelah transaksi tesebut, I Ketut Darmawan dan isteri diajak ke bank BCA di daerah Sunset Road untuk melakukan pembayaran bersama Indah Mulia dan Handoyo Soedargo. Kemudian pembeli Indah M. dan Handoyo S (pendana) melakukan pembayaran di Bank BCA dengan pembayaran awal sebesar Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan pada hari yang sama I.K. Darmawan dan Isteri disuruh menstransfer dana sebesar Rp1.580.000.000 (satu miliar lima ratus selapan puluh juta rupiah).
Lalu di hari yang sama, I.K. Darmawan dan isteri disuruh lagi mentransfer oleh Indah M. ke rekening atas nama Aditya L. sebesar Rp.840.000.000 (delapan ratus empat puluh juta rupiah).
Selanjutnya pada tanggal 24 Januari 2018, I.K. Darmawan dan Isteri disuruh lagi oleh Indah M. untuk transfer ke rekening Friet H.K. sebesar Rp390.000.000 (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah) dan sampai saat ini I.K. Darmawan dan Isteri belum menerima pembayaran atas pelunasan jual beli tersebut, serta sertifikat tanah mereka masih ada di notaris Kabupaten Badung (Beni Bintoro, S.H., M.Kn) yang sampai saat ini belum diserahkan kepada penjual.
“Sebelumnya kita juga sudah membuat somasi dan sudah meminta pembatalan transaksi atas tanah tersebut di notaris Beni B. S.H., M.Kn., dan juga sudah melakukan pembatalan penjualan ke pembeli dan ke pihak penyandang dana atas nama Handoyo S. yang tertera di akte notaris dan dana pengembalian secara lunas sebesar Rp.1,2 M pihak pemilik/penjual sudah siap dikembalikan,” beber Togar Situmorang yang juga aktif di dunia olahraga sebagai Ketua Pengkot Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Kota Denpasar.
“Pada saat pemeriksaan pengaduan masyarakat yang dilakukan oleh klien kami yang didampingi oleh dua advokat muda kami yaitu Rozi Maulana, S.H., dan Muchammad Arya Wijaya, S.H., Ditreskrimum Polda Bali Subdit 2 unit 5 Harda, juga menangani kasus yang sama dan sangat mirip sekali tentang masalah tanah,” ucapnya.
“Dari mulai sistem dan cara yang mereka pakai untuk melakukan aksinya, ada indikasi bahwa dalam kasus klien kami dan yang sedang ditangani Polda Bali merupakan satu jaringan yang sama atau sindikat, sebab ada beberapa pihak yang sama dengan kasus yang sama saat ini sedang ditangani Polda Bali,” ungkap Togar.
Togar meminta Polda Bali menindak tegas mafia-mafia tanah yang seperti ini. Karena praktek tersebut sangat merugikan orang Bali terutama masyarakat kecil.
“Saya ingat wish Kapolda Bali adalah
memberantas mafia tanah,” kata Togar Situmorang yang saat ini sedang menyelesaikan program S3 Ilmu Hukum di Universitas Udayana Bali.
“Mari kita perjuangkan, tidak boleh ada mafia tanah di Bali. Tidak boleh ada tanah di Bali yang di dapatkan dan dimiliki dengan cara-cara melawan hukum. Karena itu mari bersama berantas mafia tanah,” ajak Togar Situmorang yang juga sebagai Dewan Pakar Forum Bela Negara Provinsi Bali. (red)