RUU Kesehatan, drg. I Gusti Ayu Sri Wulan: Dilema Hukum Kesehatan, Perlindungan Nakes Dipertanyakan

Denpasar (Penabali.com) – Tenaga kesehatan (Nakes) menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 memberikan pengertian bahwa tenaga kesehatan merupakan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan formal di bidang kesehatan, yang untuk jenis kesehatan tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.

drg. I Gusti Ayu Sri Wulan mengatakan, tidak hanya dokter, dokter gigi dan perawat saja, tenaga kesehatan juga terdiri dari beberapa jenis ragam profesi di industri kesehatan antara lain tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga kebidanan, dan masih banyak lagi.

Menanggapi RUU Kesehatan yang kini sedang dibahas dan digodok DPR, drg. Wulan angkat bicara. Perempuan berparas cantik yang saat ini bertugas di Clinic Hydro Medical Canggu, menyampaikan bahwa saat ini hampir di seluruh daerah di Indonesia, massa yang terdiri dari 5 organisasi profesi kesehatan yaitu Ikatan dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menyampaikan tuntutan yang salah satunya agar meminta pembahasan soal RUU Kesehatan diberhentikan.

Demonstrasi yang dilakukan nakes serentak pada hari Senin 8 Mei 2023 itu, menunjukkan solidaritas dan keberanian memperjuangkan hak-hak nakes. Mereka menggunakan hak demokratis untuk berbicara dan memprotes ketidakadilan yang dirasakan. Dalam aksi demo tersebut, para nakes menuntut agar pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law untuk segera diberhentikan karena masih menyimpan banyak masalah.

“Aksi ini bisa menjadi position balancer antara nakes dan pemangku kepentingan, pemerintah, dan masyarakat untuk mencapai solusi yang lebih baik dan adil,” ujar drg. Wulan, Kamis (11/5/2023).

Menurutnya, nakes dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal namun dalam RUU Kesehatan Omnibus Law ini ternyata tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan.

“Apa yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, tidak pernah dijalankan pada kenyataannya di lapangan, yang mana pada akhirnya selalu organisasi profesi yang berada di garda terdepan untuk melindungi anggotanya,” ucap doktor gigi yang saat ini sedang menempuh studi Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya.

drg. Wulan menyebut, ada sejumlah poin pada RUU Kesehatan yang banyak dipersoalkan para tenaga kesehatan. Seperti pada pasal 314 ayat (2) yang didalamnya disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi pofesi. Jadi pengeliminasian organisasi profesi dan fungsi organisasi profesi diambil alih oleh Kementrian Kesehatan. Padahal, kontrol etik profesi berada pada organisasi profesi.

Namun di pasal 193 disebutkan terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok, dengan demikian terdapat 48 kelompok tenaga kesehatan. Para nakes dibuat bingung dengan adanya RUU tersebut, apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan.

“Serta adanya tuaian pro dan kontra dengan pernyataan bahwa nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR) hanya satu kali untuk seumur hidup juga ramai diperbincangkan,” imbuhnya.

Poin lainnya ada pasal 462 ayat (1), jelas drg. Wulan, tenaga kesehatan bisa mendapatkan sanksi pidana 3 sampai 5 tahun apabila terjadi kelalaian. Tenaga kesehatan juga dapat dituntut ganti rugi oleh pasien bila terjadi kesalahan, namun pada pasal tersebut tidak ada penjelasan secara rinci terkait poin kelalaian atau kesalahan yang dimaksud.

Terkait polemik RUU kesehatan, Kementrian kesehatan (kemenkes) mengusulkan tambahan pasal yang berkaitan dengan perlindungan hukum untuk para nakes dalam RUU Kesehatan tersebut. Usulan tersebut dilakukan karena dinilai belum ada tambahan perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat, namun banyak yang merasa bahwa RUU ini minim urgensi, dibuat tergesa-gesa dan bahkan tanpa melibatkan para nakes itu sendiri, serta tidak jelas siapa penggagasnya.

Dari pihak Kemenkes menyatakan RUU Kesehatan justru akan meningkatkan perlindungan hukum bagi para nakes, namun berbanding terbalik untuk pihak nakes dimana adanya RUU tersebut malah akan melemahkan perlindungan dan kepastian hukum mereka.

“Sama halnya dengan para nakes lainnya, menurut saya organisasi profesi baiknya dibiarkan untuk masing-masing profesi itu karena masing-masing mempunyai peran yang berbeda dan visi misinya pun juga berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu,” ungkapnya.

drg. Wulan mengatakan, berdasarkan dari masalah yang ada, perlindungan hukum suatu profesi mutlak adanya demi menjamin keselamatan dari pelaku profesi tersebut. Beberapa fraksi besar nampak ingin menggulingkan organisasi profesi demi kepentingan sendiri.

“Menurut saya, sudah mutlak hukumnya perlindungan kepada profesi harus sesusai dengan tanggung jawab yang diemban. Hal lainnya, dikarena profesi nakes yang sifatnya selalu berkembang, baik dalam segi perkembangan penyakit, alat diagnosa, dan pengobatan terkini maka sangat penting suatu tanda registrasi profesi untuk melakukan re-sertifikasi guna menjaga kualitas dari pada sumber daya manusia (SDM) para nakes,” pungkas drg. Wulan. (rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *