Denpasar (Penabali.com) – Sidang praperadilan Rektor Unud dalam penetapannya sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana SPI Unud oleh Kejaksaan Tinggi Bali (Termohon), kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (10/4/2023). Sebelumnya, sidang praperadilan pada minggu lalu sempat ditunda karena Termohon dan Pemohon (Rektor Unud) tidak hadir.
Pada sidang praperadilan kali ini dipimpin hakim tunggal, Agus Akhyudi, dengan agenda sidang pembacaan permohonan pihak Pemohon (Rektor Unud Prof. I Nyoman Gde Antara).
Selain dihadiri Tim Hukum Unud, dalam sidang praperadilan perdana juga turut dihadiri sejumlah dosen dan mahasiswa untuk memberikan dukungan dan semangat serta support moral kepada Tim Hukum Unud.
Dalam praperadilan hari pertama yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Tim Kuasa Hukum Rektor Unud mempertanyakan penetapan status tersangka Rektor Unud Prof. I Nyoman Gde Antara. Salah satu Tim Hukum Rektor Unud, Gede Pasek Suardika (GPS), menyatakan penetapan Rektor Unud Prof. Antara sebagai tersangka dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali pada 8 Maret 2023 perlu diuji dengan alat bukti yang kuat sehingga penetapan tersangka tersebut memiliki dasar yang jelas.
Dalam materi praperadilan Tim Hukum Unud menuntut Kejati Bali agar menghentikan penyidikan terhadap Rektor Unud Prof. Antara dan mencabut perintah pencekalan terhadap Rektor Unud Prof. Antara. Tim Kuasa Hukum Unud juga meminta Kejati Bali mencabut semua penetapan status terhadap Rektor Unud Prof. Antara yang telah dikenakan selama penyidikan berlangsung dan Kejati Bali membayar biaya perkara praperadilan.
“Penetapan (tersangka) tanggal 8 Maret 2023, tanggal 8 Maret 2023 ke belakangnya apa alat buktinya? Jangan ada alat bukti yang dihadirkan 8 Maret di depan, karena yang kita permasalahkan adalah status tersangka, karena ini masih praperadilan. Jadi, masih belum menyentuh substansi, tetapi kami sedang gambarkan tentang bahwa begitu lengkapnya payung hukum yang dilakukan oleh Unud,” kata GPS.
Dalam sidang praperadilan ini, secara bergantian kuasa hukum Prof. I Gede Nyoman Antara memberikan penjelasan sejumlah dasar hukum pemungutan SPI jalur mandiri di Universitas Udayana. Menurut Pasek Suardika maupun Nyoman Sukandia serta Erwin Siregar dalam sejumlah dasar hukum penarikan uang pangkal atau SPI tersebut tidak ditemukan adanya alasan untuk menjadikan Rektor Unud Prof. Antara sebagai tersangka.
“Di mana problemnya atau unsur melawan hukumnya? Kami sudah hadirkan semua payung hukum yang dilakukan oleh Unud, sehingga unsur melawan hukumnya tidak ada,” paparnya.
Tim Hukum Unud juga mempertanyakan jumlah kerugian negara yang disebut oleh Kejati Bali. Menurut Tim Hukum Unud, jumlah perhitungan kerugian negara oleh Kejati Bali lebih besar dari pada jumlah pungutan SPI selama tahun 2018 sampai 2022. Tim Hukum Unud berharap Jaksa Penuntut Umum Kejati Bali dapat menghadirkan alat bukti yang akurat untuk membuat kasus tersebut menjadi terang benderang.
“Kerugian negara itu hitungan bagaimana? Bagaimana mungkin sampai menemukan kerugian negara Rp.400-an miliar, sementara dalam kurun waktu 2018-2022 saja totalnya Rp.335 miliar,” sentil Pasek Suardika.
Tim Hukum Universitas Udayana kemudian menjabarkan berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada lima alat bukti yang bisa dipakai yaitu saksi, terdakwa, keterangan ahli, petunjuk dan surat. Dari kelima alat bukti tersebut, Tim Hukum Unud menyebut yang paling esensial adalah bukti surat karena pokok perkara dalam kasus tersebut adalah korupsi.
“Kasus yang menimpa Prof. Antara bukan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT), maka barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan adalah hasil audit. Hasil audit Kejati Bali bertentangan dengan beberapa auditor yang selama ini mengaudit keuangan SPI Universitas Udayana,” tegas Pasek Suardika bersama Nyoman Sukandia dan Tim Kuasa Hukum Unud lainnya.
Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali, Gede Astawa, dan tim dalam sidang tersebut menyampaikan akan mempelajari dokumen pihak Pemohon karena terdapat beberapa catatan tambahan yang dikoreksi oleh pihak Pemohon.
“Setelah kami cermati, bukan pengetikan, tetapi perubahan substansial. Setelah kami cermati ada enam alasan. Karena itu, kami memohon penundaan untuk penyesuaian jawaban,” kata Astawa.
Sebelum menutup persidangan praperadilan, hakim tunggal Agus Akhyudi menetapkan jadwal sidang dengan agenda jawaban dari pihak Termohon yang akan digelar Selasa 18 April 2023 pukul 09.00 Wita. Hakim meminta Tim Kuasa Hukum Prof. Antara maupun pihak kejaksaan untuk datang tepat waktu.
“Tolong untuk persidangan berikutnya dimulai jam 09.00 pagi ya, karena sidang praperadilan ini lebih awal dari sidang lainnya,” ucap hakim Agus Akhyudi seraya menutup persidangan. (rls)