Denpasar. Saat deklarasi perang melawan premanisme di Bali, Kapolda Bali Irjen Pol. Petrus Reinhard Golose menegaskan sikap perang melawan premanisme.
Preman adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Advokat Togar Situmorang menyatakan mendukung langkah Kapolda Bali Irjen Pol. Petrus R. Golose yang tegas menyatakan sikap perang melawan premanisme. “Kita setuju preman diberantas, karena kita tahu bahwa Bali adalah tempat pariwisata yang didambakan keamanan dan kenyamanannya”, ujar Togar saat ditemui di Denpasar, Rabu (21/11).
Namun di sisi lain, Dewan Penasehat Forum Bela Negara ini juga mengingatkan bahwa Polri selaku aktor utama keamanan harus tetap menjunjung tinggi profesionalisme dan hak asasi manusia dalam setiap pelaksanaan tugas dan operasi terkait pemberantasan aksi premanisme. “Karena ketidakprofesionalan polisi dalam penanganan premanisme justru dapat berakibat pada pelanggaran-pelanggaran HAM berat”, ucapnya.
Togar menerangkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaaraan Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dalam menertibkan premanisme, Polri tidak boleh melakukan kekuatan yang berlebihan (exxesive use of force) dan harus mengacu pada aturan ketat penggunaan kekuatan sesuai dengan prinsip internasional dan aturan yang berlaku, yaitu prinsip proporsionalitas (sesuai tujuan sah yang akan dicapai dan beratnya pelanggaran), keabsahan (sesuai dengan hukum yang berlaku), akuntabiltas (pertanggungjawaban hukum terhadap penggunaan kekuatan) dan kebutuhan (baru dilakukan jika memang dalam keadaan terdesak).
“Polri juga harus menghormati prinsip praduga tak bersalah, tidak diskriminatif, memastikan efektivitas hak-hak para tersangka, seperti pendampingan pengacara, akses bagi keluarga dan lain sebagainya sesuai prinsip peradilan yang baik (em)(fair trial). Mekanisme pemidanaan sebagaimana diatur dalam KUHP dan KUHAP”, beber Togar yang juga Ketua Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Kota Denpasar.
Disisi lain, Togar mengingatkan, Polri juga memiliki tugas dan fungsi lainnya seperti pengayoman, mediasi dan penyadaran hukum yang tersirat dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri serta memperkuat Pemolisian Masyarakat sebagai langkah-langkah pencegahan terjadinya aksi kekerasan dan premanisme.
“Premanisme tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara seperti itu. Memberantas premanisme dengan cara seperti itu dianggap tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Tapi yang lebih baik adalah bagaimana mengubah orientasi pembangunan ekonomi agar preman tidak muncul”, jelas Caleg DPRD Bali dari Partai Golkar dapil Kota Denpasar nomor urut 7 ini.
Dijelaskannya juga, langkah dan tindakan Polri sebagai salah satu lembaga negara perangkat hukum sangatlah tepat sebagai ujung tombak dari pemberantasan premanisme yang semakin marak terjadi di tanah air. Tentunya diikuti oleh lembaga-lembaga perangkat hukum lainnya seperti kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. “Steril dari pengaruh-pengaruh baik itu politik, uang maupun desakan kepentingan dari pihak-pihak tertentu di semua lembaga tersebut sangatlah diharapkan, katanya.
Togar mengamati, munculnya aksi premanisme khususnya di kota-kota besar, disinyalir merupakan dampak dari kesenjangan pembangunan ekonomi di Indonesia. “Cara paling efektif untuk melawan premanisme adalah dengan menyediakan lowongan pekerjaan sebanyak mungkin”, tegas Togar yang dijuluki ‘Panglima Hukum’ ini.
Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan menurut Togar, merupakan masalah sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. Tindakan premanisme tingkat bawah yang pada umumnya melakukan kejahatan jalanan (street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365 KUHP), pemerasan (368 KUHP), pemerkosaan (285 KUHP), penganiayaan (351 KUHP), melakukan tindak kekerasan terhadap orang atau barang dimuka umum (170 KUHP) bahkan juga sampai melakukan pembunuhan (338 KUHP) ataupun pembunuhan berencana (340 KUHP), perilaku mabuk di muka umum (492 KUHP), tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di masyarakat.
Togar yang juga seorang pengamat publik ini menegaskan, hukum dibuat untuk mengatur warga negara tanpa kecuali. Hukum harus dipatuhi dan ditegakkan demi langgengnya kehidupan berbangsa dan bernegara. “Memberikan keamanan, ketenangan dan keadilan kepada semua anggota masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Semua harus tunduk dan patuh dalam kerangka hukum tanpa ada kecuali”, tegasnya. (TMC)