Denpasar (Penabali.com) – Pemerintah menerbitkan UU 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Undang-undang ini memiliki lingkup regulasi dalam pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak dan retribusi, pengelolaan TKD, pengelolaan belanja daerah, pemberian kewenangan untuk melakukan pembiayaan daerah, dan pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.
UU ini mengganti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Menurut Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Nyoman Sugawa Korry, mengatakan terkait implementasi pemberlakuan UU HKPD itu, seharusnya bisa mendapatkan nilai plus dari daerah-daerah lainnya.
“UU HKPD ini sangat membantu, pendapatan daerah itu tidak hanya pajak, pendapatan daerah itu tidak hanya retribusi, tetapi pendapatan daerah juga banyak dibantu oleh dana pusat, khususnya tentang dana bagi hasil, khususnya tentang pertanian dan kearifan lokal. Pertanyaannya, sudahkah peluang itu tersurat dalam UU HKPD yang akan diberlakukan pada tahun 2023?,” jelas Sugawa Korry di Denpasar, Selasa (27/12/2022).
Menyusul diberlakukannya UU Nomor 1 tahun 2022, kata Sugawa Korry, dapat dikatakan perjuangan Bali untuk mendapatkan dana perimbangan dari sektor pariwisata melalui revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kandas.
“UU Nomor 1 Tahun 2022 mencabut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selama ini, kedua undang-undang ini yang mempengaruhi pendapatan Provinsi Bali dari sektor pariwisata. Masih lebih baik ada UU 33 Tahun 2004 karena peluang mendapatkan dana bagi hasil dari pariwisata masih ada. Namun, kini perjuangan mendapatkan dana dari pariwisata itu gagal direbut,” tutur Wakil Ketua DPRD Bali dari Dapil Buleleng ini.
Dulu, lanjut politisi asal Desa Banyuatis, Buleleng ini, bahwa Bali berjuang agar UU 33/2004 direvisi karena sangat merugikan Bali. Dalam UU 33/2004 menyebutkan, dana bagi hasil diatur berdasarkan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Sugawa Korry menyatakan Bali tidak punya sumber daya alam berupa tambang. Tapi Bali punya alam yang indah yang menjadi objek wisata sebagai “sumber daya lainnya”.
“Lahirnya UU 1/2022 kini menghapus dana perimbangan pusat dan pemerintah daerah menjadi hubungan keuangan daerah dan pusat. Jadi, dana perimbangan hilang, berubah menjadi hubungan keuangan daerah dan pusat yang menghilangkan peluang Bali,” ujar politisi yang juga dikenal sebagai praktisi ekonomi ini.
Sugawa Korry menyebut, pariwisata Bali dengan adat dan budaya sebagai penyangga kini tidak ada yang membiayai. Retribusi daerah yang diatur dalam Perda (Peraturan Daerah) belum juga menjamin adat dan budaya Bali bisa dibiayai. Karena retribusi itu disebutkan sukarela, wisatawan bisa memberikan bisa tidak. Maka, alternatif dengan rasa keadilan harus diperjuangkan. Karena pariwisata Bali memberikan andil untuk devisa negara.
“Memang dampak pariwisata kita dapat peluang kerja, ekonomi jalan, tetapi ada undang-undang baru, malah tidak berpihak ke Bali,” sebut Sugawa Korry.
Menanggapi hal tersebut, Sugawa Korry mengatakan DPD Partai Golkar Provinsi Bali melakukan kajian kritis dalam sebuah kegiatan webinar bertajuk “Kajian Kritis Implementasi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah”.
Webinar yang sekaligus sebagai refleksi akhir tahun 2022 itu, akan digelar secara hybrid (online dan offline) pada Sabtu, 31 Desember 2002 di Kantor DPD Golkar Bali dan di lokasi-masing-masing narasumber dan peserta.
Ada tiga narasumber yang akan menjadi pembicaranya. Yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH., M.Hum., Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nyoman Sugawa Korry, S.E., M.M., Ak., C.A., dan Bupati Karangasem Periode 2005-2015 Wayan Geredeg, SH.
Dengan kapasitas dan kompetensinya, para narasumber diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat tentang UU 1/2022, dan terutama dapat dirumuskan pemikiran dan usulan terkait peluang Bali memperjuangkan kembali agar mendapat keadilan dalam perimbangan keuangan dengan Pemerintah Pusat. (rls)