Categories Bali Hukum

11 KK Warga Desa Adat Tanjung Benoa ‘Kasepekang’

“Berawal dari Perkara Tanah”

 

11 kepala keluarga sekitar 65 jiwa warga Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung kasepekang (dikucilkan secara adat). Ini gara-gara gugatan perdata yang dilayangkan keluarga I Nyoman Darna terhadap Desa Adat Tanjung Benoa di Pengadilan Negeri Denpasar sehingga mereka kena sanksi (kasepekang) dari adat.

“Kami keberatan dengan putusan paruman desa adat bahwa keluarga kami kasepekang. Sebab kami melakukan gugatan secara perdata untuk menuntut keadilan dan mempertanyakan status tanah yang keluarga kami garap secara turun temurun,” jelas perwakilan keluarga yang kasepekang, I Wayan Sutaya (adik I Nyoman Darna) didampingi sejumlah anggota keluarga lainnya dalam keterangan pers di kediaman mereka di Tanjung Benoa, Jumat (21/12/2018).

Putusan kasepekang ini tertuang dalam Peraturan Pemutus Wicara Paruman Agung Krama Desa Adat Tanjung Benoa tentang Pengenaan Sanksi Adat kepada Keluarga I Nyoman Darma, Nomor: 01/SA/PDA-TB/XI/2018 tertanggal 18 November 2018. Hasil paruman ini ditandatangani Bendesa Adat Tanjung Benoa dr. I Made Sugianta bersama prajuru adat lainnya.

“Kami bingung dimana kesalahan kami sehingga dikeluarkan dari adat. Padahal kami melayangkan gugatan perdata tanah garapan leluhur kami,” ucapnya. Menurut Sutaya, keluarga I Nyoman Darna pernah meminta petunjuk dan saran kepada Bendesa Tanjung Benoa (I Made Wijaya, SE) pada 25 November 2015 dan 10 Desember 2015. Karena tidak ada solusi atau titik temu, maka Bendesa I Made Wijaya menyarankan untuk menempuh jalur hukum.

“Sehingga kami sekeluarga sepakat untuk memperjuangkan hak-hak kami sesuai dengan data yang kami miliki melalui jalur hukum sesuai yang disarankan Jro Bendesa (I Made Wijaya, red)”, katanya.

Dalam kasus perkara perdata yang sedang berjalan tersebut, I Nyoman Darna sekeluarga diberikan sanksi adat. “Menurut kami sekeluarga kebijakan tersebut tidak bisa kami terima karena selaku warga Desa Adat Tanjung Benoa kami tidak pernah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar adat apalagi melawan desa seperti yang dituduhkan saat rapat desa pada 18 November 2018. Adapaun perkara yang kami ajukan adalah perkara perdata dimana obyek tersebut ditempati oleh desa adat dan kami menempuh jalur hukum sesuai dengan hukum positif yang berlaku”, bebernya.

Kasus kasepekang ini berawal ketika keluarga I Nyoman Darna mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas dua objek tanah negara yang sejak puluhan tahun digarap namun belakangan disertifikatkan oleh Desa Adat Tanjung Benoa.

Tanah yang diklaim sebagai milik desa adat tersebut yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) No.406 atas nama Pura Segara Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.227 m2 dan SHM No.80 atas nama Pura Penataran Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.669 m2.

Padahal menurut I Wayan Sutaya selaku adik I Nyoman Darna, tanah tersebut awal merupakan tanah milik Provinsi Bali yang diberikan hak untuk mengelola bidang tanah Dana Bukti /Tanah Negara Persil 54 klas II dengan luas 1.490 Ha per 1 Januari1972 kepada orang tua I Wayan Darna yang juga sudah menggarap tanah tersebut sebelum keluarnya surat Keputusan (SK) Gubernur Bali.

Kemudian diturunkan hak menggarap, mengelola dan membayar pajak tanah ini hingga tahun 1989 kepada I Nyoman Darna. Akhirnya sampai terbit Buku Dasar Tanah Dana Bukti No. 185 dengan persil 54 klas IIA Banjar Tanjung Benoa tanggal 1 Juni 1979 dengan letak tanah di Desa Tanjung Benoa yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Provinsi Bali.

“Dalam perjalanannya ada pengambilalihan tanah tersebut dan tahu-tahu sebagian sudah disertifikatkan pada tahun 2011 oleh Desa Adat Tanjung Benoa,” terang Sutaya. Pihaknya pun mengaku menghormati proses hukum yang berjalan dan siap menerima apapun putusan inkrah nantinya. “Kalau gugatan kami ditolak dan tanah itu dinyatakan milik desa adat kami akan terima dan hormati. Kami hanya menanyakan dan meminta kepastian tentang hak kami,” imbuh Sutaya.

Paruman Desa Adat Nyatakan Bersalah

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemutus Wicara Paruman Agung Krama Desa Adat Tanjung Benoa tentang Pengenaan Sanksi Adat kepada Keluarga I Nyoman Darma, Nomor: 01/SA/PDA-TB/XI/2018 tertanggal 18 November 2018 disebutkan ada sejumlah kesalahan ada yang dilakukan I Nyoman Darna sekeluarga.

I Nyoman Darna sekeluarga dianggap telah mengingkari Hak Milik Desa Adat Tanjung Benoa dan ingin mengembalikan pada negara tanah seluas 1.227 m2 hanya untuk kepentingan I Nyoman Darna bersama keluarganya sebagai penggarap, yang secara jelas oleh Negara telah diberikan kepada Desa Adat Tanjung Benoa. Hal yang sama juga dianggap dilakukan terhadap objek tanah seluas 1.669 m2.

I Nyoman Darna sekeluarga juga dianggap mengingkari keberadaan Pura Penataran Desa Adat Tanjung Benoa. Jawaban perkara di pengadilan dan saksi-saksi yang diajukan juga dianggap melecehkan simbol-simbol kesucian pura tersebut.

Sanksi kasepekang yang dijatuhkan sesuai Paruman Desa Adat Tanjung Benoa kepada keluarga I Nyoman Darna memuat tiga hal utama. Pertama, Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan pelayanan serta menghentikan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan peradatan.

Kedua, Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan izin bagi I Nyoman Darna sekeluarga untuk mendapatkan dan menggunakan fasilitas milik desa adat.

Ketiga, Desa Adat Tanjung Benoa memberikan hak kepada Pecalang Desa Adat Tanjung Benoa dan Prajurit Banjar bersangkutan (Banjar Tengah dan Banjar Purwa Santhi) untuk melaksanakan dan mengamankan keputusan ini. (red)